Senin, 29 Agustus 2011

Lambaian Ramadhan


dikutip dari notes mbak Ziyy, yang juga mengutip dari penutup buku "Nasihat Ramadhan Orang-orang Shalih" (Sulthan Hadi), semoga bermanfaat :)


Ramadhan, tahun 10 Hijriah. Ada yang tak biasa dilakukan Rasulullah. Biasanya, Jibril mengetes bacaan Al-Qur’an Rasulullah satu kali, tapi Ramadhan kali itu ia melakukannya dua kali. Begitupun Rasulullah, di ujung Ramadhan, biasanya melakukan i’tikaf sepuluh hari terakhir. Tapi Ramadhan itu melakukannya dua puluh hari.

Sebuah lambaian perpisahan telah datang, dari Rasul tercinta, yang dicintai para sahabat dan umatnya, sementara ia sendiri juga mencintai mereka. Tetapi tidak semua orang mengerti dan memahami isyarat perpisahan itu. Bahkan hingga beberapa bulan kemudian, masih saja tanda-tanda itu belum dirasakan kebanyakan sahabat. Meski pada waktu haji wada’ Rasul mengatakan,”Aku tidak tahu pasti, boleh jadi aku tidak bisa bertemu kalian lagi setelah tahun ini dengan keadaan seperti ini.”

Bahkan hingga lima hari sebelum wafatnya di bulan Rabiul Awal, saat ia menyampaikan beberapa nasihat panjangnya. Ketika di ujung nasihatnya Rasul berkata, “Seungguhnya ada seorang hamba yang diberi pilihan oleh Allah, antara diberi kemewahan dunia menurut kehendaknya ataukah apa yang ada di sisi-Nya. Ternyata hamba itu memilih apa yang ada di sisi-Nya.”

Saat itu Abu Bakar menangis sambil berkata, “Demi ayah dan ibu kami sebagai tebusanmu.” Para sahabat heran. Orang-orang berkata, “Lihatlah orang tua ini, Rasulullah saw mengabarkan tentang seseorang yang diberi pilihan oleh Allah, antara diberi kemewahan dunia menurut kehendaknya ataukah apa yang ada di sisi-Nya, lalu dia berkata,’Demi ayah dan ibu kami sebagai tebusanmu.’ “

Akhirnya setelah Abu Bakar menjelaskan bahwa yang dimaksud hamba itu tak lain adalah Rasulullah, barulah para sahabat yang lain menyadari, bahwa detik-detik perpisahan dengan Rasulullah tiba-tiba hadir di kehidupan nyata mereka. Sesuatu yang nyaris tak pernah mereka bayangkan. Bahwa suatu hari kelak mereka akan berpisah dengan Rasul tercinta.

Begitulah, setiap kita mempunyai tambatan cinta yang berbeda-beda. Pada sisi keimanan, tentu semestinya cinta itu tertambat kepada Allah, Rasul-Nya, juga ajaran-ajaran agama-Nya. Pada sisi kemanusiaan, kita boleh menambatkan cinta itu kepada apa dan siapa saja yang halal dan mubah.

Meski kita mengerti bahwa cinta kemanusiaan kita tidak boleh melanggar cinta keyakinan kita, tetapi tetap saja ada duka dan sedih untuk setiap perpisahan dengan apa dan siapa saja yang kita cintai. tetap saja ada tangis untuk setiap kehilangan orang-orang  atau apa saja yang kita cintai.

Maka, yang tak mencintai apa-apa tak akan pernah merasakan kehilangan apa-apa. Di sinilah masalahnya. Orang-orang yang merasa hopeless atau yang menjalani hidup ini dengan tanpa tambatan cinta, akan melewati segala perjumpaan dan perpisahan dengan tanpa makna apa-apa. Ta ada susah, tak pula senang.

Tapi seburuk-buruk orang yang tak punya tambatan cinta, adalah mereka yang tak pernah mengerti arti karunia Allah yang diberikan kepadanya. Sebab cinta adalah kumpulan segala kemampuan kita untuk menghargai. Ada berjuta karunia dan kemurahan Allah yang diberikan kepada kita. Ada usia, napas, tinggi-tegak badan yang segar, pikiran yang waras, uang yang datang dari lorong keringat dan jerih payah,anak dan keluarga, serta alam dengan segala kekayaannya. Semua itu seharusnya menjadi lautan inspirasi bagi kita untuk memiliki rasa cinta, untuk menghargai, dan mengerti akan arti karunia itu semua.

Di atas seluruh karunia itulah kita menikmati hidup ini. Dengannya kita menitahkan jati diri kita, sebagai makhluk dengan peradaban yang tak pernah berhenti mencari gaya barunya. Dengan semua karunia itu, kita yang muslim dan memilih jalan keislaman bisa mengarungi samudera keimanan. Bisa menjalankan bermacam syiar keislaman, yang wajib maupun yang sunnah.

Dalam konteks inilah, kita meletakkan cinta kita kepada karunia Allah. Sekaligus dalam konteks itu pula, kita meletakkan rasa kehilangan kita, akan karunianya ketika ia harus terputus dair kita. Maka, tidak semata dalam kaitan dnegan Ramadhan, sesungguhnya karunia hidup ini punya batas usianya. Sebuah batas yang berada di alam yang gelap, tetapi ia sangat dekat dengan kita, mengintai setiap saat. Seperti serigala yang mengendap menunggu mangsanya tanpa pernah lelah atau tertidur barang sekejap.

Semua perlambang hidup, yang bergerak atau diam, sesungguhnya selalu melambaikan perpisahan, mengalunkan lagu perpisahan. Setiap detik dan setiap waktu. Hari yang selalu baru, sinar matahari yang selalu bergeser dari hangat di pagi hari ke panas di siang hari. Dari panas ke hangat di sore hari. Bayi-bayi yang lahir di seluruh penjuru bumi, menangis dalam ketidakmengertian mereka. Juga para lelaki dan wanita dewasa yang bekerja keras setiap hari, menuju langkah-langkah akhir ketidaberdayaan melawan kematian. Sebagian yang lain menghitung hari, dalam sakit yang berkepanjangan. Semua lakon itu hanyalah para pengiring perpisahan abadi: kit ayang meninggalkan perlambang itu, atau perlambang itu yang harus meninggalkan kita.

Maka, segala kesempatan baru harus kita maknai sebagai kesempatan terakhir. Seperti perkataan Rasulullah, “Shalatlah seperti shalat perpisahan.” Ya, artinya shalatlah seperti seakan ini shalat terakhir kita. Tidak ada yang tahu, apakah masih ada esok hari bagi kita atau tidak.

Seperti sebuah perjalanan yang panjang, sesungguhnya hidup ini adalah kereta tua yang tidak pernah tahu kapan akan berhenti. Ia terus berjalan, melalui apa saja yang ada dihadapannya. Segala yang disisinya melambaikan perpisahan. Tetapi tak ada satupun orang yang mengerti kapan ia akan berakhir.

Setiap lambaian kehadiran, sesungguhnya, adalah lambaian perpisahan. Kita hadir untuk kembali. Kita datang untuk pulang, dan kita lahir untuk mati. Begitulah pada dasarnya. Tetapi garis lurus kehidupan yang singkat itu seringkali terasa indah dan lama, ketika didalamnya banyak gemerlap hiasan dunia. Ada begitu banyak bunga-bunga hidup yang bisa melenakan orang banyak.

Dahulu kita lahir sendiri. Tidak punya apa-apa. Sebagian kita mungkin kemudian punya begitu banyak karunia, rezeki dan kenikmatan lainnya. Tumbuh menjadi pintar, dewasa, dan mungkin kaya. Bagi sebagian kita, mungkin semua itu tinggal kisah masa lalu. Sebagian yang lain mungkin sedang mencoba mewariskan kebesaran itu pada anak cucunya. Sebagian lagi mungkin tanpa bisa mengelak, tengah bersiap-siap mengubur kebesaran itu menjadi masa lalu yang hanya akan menjadi prasasti kenangan.

Dahulu kita lahir sendiri, tidak punya apa-apa. Bila kemudian kita menjadi ramai bersama orang lain, atau menjadi punya begitu banyak apa-apa, sejujurnya, ada saat segalanya seperti jarum jam yang berputar kembali: kita kembali sendiri dan tidak punya apa-apa.

Maka di Ramadhan yang mulia ini, saat sumber kekayaan spiritual dilapangkan luas-luas, saat bermacam karunia tak diberikan pada bulan lainnya, harus ada kekhawatiran bagi kita, jangan-jangan ini Ramadhan terakhir kita.

0 komentar:

Posting Komentar

girl's stuff

bagja kana Sunda

Taujih

 

Titik Senyap Copyright © 2008 Green Scrapbook Diary Designed by Buy Engagement Rings | Infidelity in Marriage by Blogger Templates