Minggu, 17 Juli 2011

Rintisan Sekolah Bertaraf (atau Bertarif?) Internasional


Saya tergelitik untuk menuangkan pendapat saya dalam tulisan setelah teman saya, Ilul nge-share link berita di facebook: http://edukasi.kompas.com/read/2011/07/12/17470385/Tiga.Catatan.untuk.Eksistensi.RSBI
Dia ngutip pernyataan yang ada di artikel berita tersebut: ‎"Sekolah berlabel RSBI itu hanya menjadi mesin 'ATM' buat kepala dinas pendidikan. Daripada seperti itu, apakah tidak sebaiknya RSBI dibubarkan saja?" nah lo...

Selama ini saya cuma denger taunya kabar rsbi ya tentang rsbi di sma saya dulu atau di smp adik saya yang kebetulan punya programnya (dan memang adik saya ngikut programnya). Ternyata eh ternyata... baru nyadar deh saya kalo ternyata RSBI atau SBI ini lagi jadi isu yang booming di Indonesia (ga apdetnya beneran deh saya).


Pernah sekali saya disuruh ibu buat ngewakilin beliau datang ke acara pertemuan orangtua-wali kelas adik saya yang ikut SBI itu (sebut saja namanya Ida). Padahal pas zaman saya dulu ga pernah ada yang dateng =.=". Pengumuman buat ujian kelas nanti, kata Ibu. Berangkatlah saya kesana. Di surat pengantarnya jam 1, saya dateng jam setengah 2 :D. Lumayan biar langsung masuk inti acaranya, pikir saya. Tapi nyatanya selama tiga jam pertama yang berbicara adalah ketua komite kelas (maksudnya komite kelas itu orangtua murid) yang berbicara tentang perpisahan kelas dan uang kas kelas. Saya yang niat kesini buat nyatet info ujian jadi bete sendiri. Terus pake ditagih uang kasnya lagi, padahal saya ngga tau apa-apa soal ini =.=". "Itu sumbangan sukarela yang diwajibin teh" kata Ida pas saya protes sama dia. 

Waktu saya liat laporan keuangannya...ko uang kasnya ngga ada yang berkaitan sama KBM anak-anak kelasnya? Malah buat ngasi bingkisan penjaga sekolah, atau beli kado sama kue tart ulangtaun wali kelas. Bukannya salah sih...tapi kenapa yang ngelola komite kelas yang notabene isinya orangtua murid? Seolah komite ini sibuk sendiri kaya ngadain arisan. Duit dikumpulin dari orangtua murid, terus pengeluarannya sama sekali bukan untuk anak-anak kelas. Penjaga sekolah kan urusan sekolah bukan urusan orangtua murid. Helllooooo...yang punya kepentingan di situ kan anak-anaknya bukan orangtuanyaa. Mana lumayan banget tiap anak dipungut 50rb sebulan. 

Oke, setelah berceramah selama tiga jam, akhirnya sang wali kelas aseli muncul dan memberikan penjelasan tak lebih dari lima belas menit saja, dan info yang disampaikannya pun tercantum semua di surat undangan pertemuan yang diberikan :) :) :) #garuktembok. Setelah itu, wali kelas dan orangtua murid lainnya berbincang-bincang. Dari situ saya tahu bahwa: Wali kelas adik saya ini terpaksa menjadi guru biologi SBI satu-satunya untuk semua kelas karena guru lain belum ada yang memenuhi standar kualitas yang ditetapkan. Terus guru Sains disana pas-pasan, sehingga saat ada guru yang perangainya kurang menyenangkan (susah bekerja sama dan susah berkomunikasi dengan wali kelasnya), guru tersebut dipertahankan untuk mengajar. Padahal sekolah adik saya itu sekolah yang paling bagus di kota kami, tapi SBI-nya masih seadanya secara kualitas (gimana yg lain?). Hhh...

Selain itu, obrolan RSBI yang saya tangkap adalah wacana untuk studi banding ke smp di Singapura. "Kan kita SBI ya Bu, iya sih, harusnya studi bandingnya juga sama yang di luar. Kalo studi banding ke sesama SBI di dalam negeri sih belum representatif ya. Keponakan saya saja yang sekolahnya di SMP Negeri 1 Cimahi, sama-sama SBI, udah ke studi banding ke Singapura. Ya harusnya kita juga ya Bu, (secara SMP paling bagus di kota)." intinya seperti itu.

Terus mereka juga ngomongin soal loker kelas. Loker siswa yang ngikutin konsep sekolah di luar negeri itu sekarang teronggok di pojokan kelas karena kuncinya ilang =.=". "Nanti habis kuncinya diperbarui, dipindahin aja bu ke luar kelas lokernya. Harusnya kan gitu ya, di luar (negeri) itu lokernya ditaro di luar..." kata seorang orangtua murid. Emm eniwei saya ngga memandang ini penting. Segitu signifikankah lokasi loker terhadap peningkatan kualitas anak-anak kelas SBI?

Yang jelas saya mengalami kerugian immateril gara-gara dateng ke pertemuan itu. Kelebihannya, yaa..saya bisa cuap-cuap tentang ini di sini.
***
Mengenai RSBI

RSBI, menurut pengertiannya adalah adalah Sekolah Standar Nasional (SSN) yang menyiapkan peserta didik berdasarkan Standar Nasional Pendidikan (SNP) Indonesia dan bertaraf Internasional sehingga diharapkan lulusannya memiliki kemampuan daya saing internasional.

Dalam Bab XIV pasal 50 ayat 3 Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan bahwa pemerintah daerah harus mengembangkan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan menjadi bertaraf internasional. Aturan ini mungkin untuk menstimulus ya, biar perkembangannya bisa cepat.

***
Catatan atas RSBI/ SBI

Sejauh ini yang paling disoroti dari RSBI, sayangnya, bukan hal-hal yang positif. Diantaranya yang bisa saya rangkum adalah sebagai berikut:

1. Penyalahgunaan Dana RSBI 

Hal yang banyak dikeluhkan oleh masyarakat adalah tingginya biaya untuk mengikuti program pendidikan bertitel RSBI/ SBI ini. Sebelum masuk, siswa diharuskan untuk mengikuti Psikotest yang biayanya tentu saja ditanggung oleh pihak siswa. Kemudian, uang pangkal dan iuran SPP yang dikenakan sekolah jauh lebih tinggi dibandingkan dengan siswa reguler biasa karena sekolah membebankan semua biaya atas fasilitas RSBI yang nantinya dibutuhkan dalam kegiatan belajar mengajar kepada pihak siswanya. Sekolah teman saya itu kini mengenakan iuran SPP 250.000 sebulan padahal sebelumnya hanya 30.000 saja, untuk perubahan fasilitas dan kualitas yang tidak signifikan. Beberapa peristiwa yang agak kontroversial pada saat penerimaan siswa baru misalnya, RSBI di Bekasi yang mengenakan biaya masuk mencapai 7 juta rupiah, dan seorang lulusan SD, Muhamad Rizky Firdaus (12) yang berasal dari SD Pardomuan Bandung yang sempat "ditolak" secara halus oleh seorang guru untuk masuk SMPN 2 Bandung karena tidak mampu membeli laptop.

Mengadaptasi sistem pengajaran Cambridge yang berbeda dengan di Indonesia, mengharuskan sekolah melakukan banyak penyesuaian. Untuk melakukan penyesuaian itu, pemerintah pusat dan provinsi mengucurkan bantuan dana ratusan juta setiap tahunnya kepada sekolah yang memiliki program RSBI tersebut. Selain itu, RSBI juga melakukan pungutan kepada orang tua siswa. Dengan bantuan dana sebanyak itu, tentu yang diharapkan adalah agar RSBI lebih cepat mencapai kualitas yang diperlukan.

Sayangnya penggunaan dana sebesar itu tidak diatur secara spesifik penggunaannya (terlalu general: untuk peningkatan mutu) dan penggunaannya tidak dijaga oleh aturan yang ketat. Terbukti bahwa dana tersebut banyak disalahgunakan. Bahkan penyimpangan dana RSBI tersebut mencapati 40-50%. 

Sesuai evaluasi yang dilakukan beberapa waktu lalu, Wakil Menteri Pendidikan Nasional (Wamendiknas) Fasli Jalal mengungkapkan, RSBI menggunakan dana yang seharusnya untuk peningkatan mutu tersebut untuk memperbaiki ruangan kelas, membangun laboratorium, memasang air conditioner, dan memasang pagar atau gerbang sekolah untuk mempercantik tampak luar gedung dibandingkan mutu pengajaran. 

Di lain pihak, menurut peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW) Febri Hendri modus penyimpangan yang sering dilakukan adalah double budget (anggaran ganda). Hal ini, misalnya, dana yang didapatkan dari pemerintah tidak digunakan untuk kegiatan A. Namun, dana kegiatan A tersebut didapatkan dari pungutan orang tua siswa. “Dari pemerintah tidak dipakai, tapi diambil dari masyarakat,” tuturnya. 

Pengucuran dana ini, tak luput pula dari sasaran permainan politik. Terdapat kasus pemindahan kepala sekolah RSBI karena tidak mau menjadi tim sukses terjadi di Jawa Timur. Plt. Dirjen Pendidikan Dasar (Dikdas) Kemendiknas Suyanto menyatakan, posisi kepala sekolah RSBI serta kepala dinas pendidikan memang rawan untuk dimanfaatkan dalam dunia politik karena status sekolah bertaraf internasional ini memang sangat ekslusif. 

“Padahal seluruh kepala sekolah itu sudah kita latih, bina, dan diberdayakan. Kendala politik lokal seharusnya juga tidak boleh masuk ke ranah pendidikan terutama RSBI,” katanya di gedung Kemendiknas. 

Untuk menangani kasus tersebut, Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) akan menutup pemberian block grant ke Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang memutasi kepala sekolah tanpa sepengetahuan pemerintah pusat. 

Bentuk penyelewengan lain, menurut APPI dan ICW, dengan menyelewengkan uang yang disetorkan orangtua siswa ke sekolah untuk diberikan kepada sejumlah politisi dan pejabat di lingkungan dinas pendidikan. Dari rincian dokumen RABS SMAN 1 RSBI Tambun Selatan, APPI dan ICW menemukan bahwa sekolah menyebar uang kepada sekretaris, kepala seksi, dan Kepala Bidang Dinas Pendidikan Kabupaten Bekasi sebanyak masing-masing Rp 2 juta.

2. Pencapaian Kualitas RSBI/ SBI yang Masih Jauh dari Harapan

Air yang mengalir deras, tapi selangnya bolong-bolong. Input yang mengucur sudah deras, namun output dan outcomenya tersendat-sendat. Saya yakin bahwa sumber daya yang dididik sudah berkualitas semuanya, namun hal ini tidak diimbangi dengan kesiapan guru yang mendidiknya. 

Menurut kajian pada tahun 2008, sekitar 50 persen guru di RSBI ada di level novice (10-250). Sementara untuk guru Matematika dan Sains kemampuan di level terendah notice dan elementary. Hanya kemampuan guru pengajar bahasa Inggris di RSBI yang memenuhi syarat di level intermediate ke atas. Kemampuan bahasa Inggris kepala sekolah RSBI sekitar 51 persen berada di level terendah. 

Padahal, Kemendiknas mensyaratkan 30% pengajar RSBI/ SBI berijazah S2 dan sekurang-kurangnya tersedia 50% guru yang mampu mengajar dengan bahasa pengantarnya bahasa Inggris. Fokus yang seharusnya menjadi target utama ini justru prioritas terbawah bagi RSBI. 

Selain itu, penerapan sistem pengajaran dari Cambridge juga masih mengalami hambatan. Buku pelajaran sudah berkurikulum impor, misalnya, namun cara pengajarannya sendiri masih konvensional. Padahal pada program RSBI ini diharapkan peserta didiknya tidak hanya mengikuti pelajaran dari text book namun juga mengalami perkembangan kreativitas sesuai dengan minat dan bakatnya. 

Sumber daya peserta didiknya sudah unggul, tuntutan yang dibebankan tinggi, namun jika dalam prosesnya tidak bagus, bukan tidak mungkin pencapaiannya tidak optimal. Padahal tuntutan yang dibebankan kepada mereka jauh lebih tinggi tapi tidak diimbangi dengan mutu pendidikan yang baik.  Adik saya ngeluh karena ngga ngerti sama sekali terhadap mata pelajaran tertentu karena cara gurunya mengkomunikasikan pelajaran tersendat-sendat. Remidial menjadi makanan kelasnya sehari-hari karena SKBMnya saja 80. Bahkan beberapa temannya sampai putus asa karena bosan remidial. Ketakutan dan tekanan tersendiri pada peserta didik RSBI/ SBI ini mengakibatkan kecenderungan mereka untuk depresi lebih tinggi.

3. Timbulnya Pengkotak-kotakkan/ Pengkastaan Sekolah

Saya tidak begitu mempermasalahkan RSBI yang hanya diterapkan pada sekolah-sekolah unggul. tanpa RSBI saja, sekolah-sekolah memang sudah terbagi ke dalam beberapa cluster sesuai mutunya. Namun yang disayangkan adalah terhambatnya siswa-siswa yang tidak mampu secara finansial untuk masuk RSBI/SBI menimbulkan kesan bahwa RSBI/ SBI terbatas untuk kalangan atas saja. Kuota 20% untuk siswa tidak mampu yang disyaratkan Kemendiknas, rata-rata masih belum dipenuhi oleh RSBI/ SBI sendiri. 

Belum lagi pada tahap perkembangan RSBI, rata-rata sekolah menerapkan program RSBI pada sebagian kelas, sehingga dalam satu sekolah itu timbul perbedaan antara siswa RSBI dengan reguler. Dalam keadaan seperti itu, tuntutan bagi siswa RSBI untuk berprestasi lebih tinggi namun dengan dukungan fasilitas dan mutu yang masih seadanya, membuat siswa RSBI rawan untuk kalah unggul dengan siswa reguler saat lulus nanti.
***
Solusi Selain Dihapuskan?

Tanggapan pihak SMP N 2 Bandung mengenai kasus Rizky yang menawarkan alternatif bahwa tanpa laptop pun siswa masih dapat mengikuti pelajaran dengan cara berbagi dengan temannya yang punya laptop, tidak memberikan solusi yang efektif. Bagaimana jika ada tugas yang harus dikerjakan saat itu juga dan harus dikumpulkan softcopy, sedang laptopnya digunakan untuk berdua? Lalu apakah teman-temannya itu akan rela meminjamkannya terus-menerus sepanjang tahun? Padahal keefektifan siswa berbeda dalam menyerap pelajaran, antara saat menggunakan satu laptop untuk seorang dibandingkan dengan penggunaan satu laptop untuk berdua.   Bisa saja anak yang meminjam tersebut merasa malu karena harus terus-terusan meminjam kepada temannya. Kalau di tengah jalan minta berhenti, gimana?

Dengan kucuran dana yang besar, seharusnya sekolah tidak kesulitan menyediakan setidaknya beberapa laptop siswa yang tidak mampu. Nantinya laptop tersebut tidak dibawa pulang, namun dapat digunakan selama di sekolah untuk kegiatan belajar mengajar dan mengerjakan tugas. Nanti dululah pasang AC, nanti dululah membuat kelas yang sama persisi fisiknya dengan yang di Cambridge. Apalagi untuk disebar-sebar ke pejabat seakan kelebihan dana; ada yang berhak menggunakannya.

Lalu jika ingin uji coba RSBI, saya sepakat dengan Ketua Asosiasi Penyelenggara Pendidikan Swasta Indonesia (Appisi) Sali Iskandar yang mengusulkan pembangunan sekolah baru tersendiri untuk RSBI. 
"Kalau menurut saya, jika memang pemerintah mau mendirikan RSBI, bangun sekolah yang baru. Jangan sekolah negeri dibuat menjadi RSBI. Kalau sekolah baru yang memang dipersiapkan untuk menjadi RSBI, siswa dan masyarakat juga akan lebih siap dan tidak akan tanggung-tanggung untuk masuk ke sana," katanya.
Dengan begitu, kecemburuan sosial bisa diatasi dan kalangan yang terbatas secara finansial tidak kehilangan tempat untuk melanjutkan pendidikannya.

Aturan penggunaan dana RSBI juga harus diperketat dan diperinci agar penyelewengan dana dapat diminimalisir. Misalnya pengalokasian dana untuk peningkatan kualitas guru harus sebesar 50%, atau ancaman hukuman berat bagi yang menyelewengkan dana ini.

Yang terakhir, transparansi penggunaan biaya dan penerimaan siswa baru. Dengan pendaftaran secara on-line misalnya, sehingga penerimaan siswa baru bisa lebih terjamin fair, terutama untuk pemenuhan kuota siswa yang tidak mampu. Pungutan kepada orangtua juga harus jelas dan diinformasikan untuk pos-pos apa saja, dan pada akhir tahun ada pertanggungjawaban yang dikomunikasikan pada pihak-pihak terkait.



sumber:

0 komentar:

Posting Komentar

girl's stuff

bagja kana Sunda

Taujih

 

Titik Senyap Copyright © 2008 Green Scrapbook Diary Designed by Buy Engagement Rings | Infidelity in Marriage by Blogger Templates