Satu dari sekian orang-orang luar biasa yang pernah saya temui.
Allah mengizinkan saya berjumpa dengan beliau dalam suatu majelis. Saat baru tiba ke tempat majelis itu akan dimulai, beliau duduk di tempat yang agak gelap. Sekilas saya tidak bisa memperkirakan usianya. Mungkin sekitar 40-an? Tapi dugaan saya salah ketika kami berpindah ke tempat yang lebih terang. Mukanya terlihat tua namun tak ada kerutan/ keriput tanda penuaan di wajahnya. Aneh?
Tak lama kemudian saya tahu jawabannya. Bukan boros, namun karena keadaannya lebih luar biasa jika dibandingkan dengan rekan-rekan seusianya.
Beliau seorang ibu rumah tangga beranak dua. Sulungnya baru berusia 7 tahun. Saat ini beliau berprofesi sebagai kontraktor di dekat rumahnya. Sebenarnya beliau menginginkan fokus menjadi ibu bagi anak-anaknya, diam di rumah. Namun Allah berkehendak lain. Dua tahun lalu, suaminya ditakdirkan kembali ke sisi-Nya. Lalu jadilah beliau menjalani kehidupannya seperti ini.
Saya tahu matanya sayu. Bahkan dalam tutur katanya beliau belum sepenuhnya move on. Berulang-ulang beliau katakan " Ya tapi tidak apa-apa, kita tahu takdir Allah adalah yang terbaik untuk kita. Saya kuat..saya kuat...saya kuat menjalani semuanya ini.". Menyemangati dan menguatkan dirinya sendiri.
Mendengarkan ceritanya saya terbayang beberapa hal.
Karena tiap-tiap jiwa akan merasakan mati. Kita ditinggalkan, dan suatu saat akan meninggalkan. Perpisahan itu menakutkan, seringkali terasa sakit. Hingga lupa pada hakikatnya yang pergi bukanlah milik kita, melainkan milik Allah SWT. Hingga lupa pada hakikatnya semua orang berlalu-lalang dalam kehidupan kita. Seberapa dekat, seberapa lama bersama, pada akhirnya akan menjalani akhir yang bernama perpisahan juga.
Saya membayangkan jika saya ditinggalkan.
Tidak, saya tidak siap sama sekali. Jika saya ditinggalkan, saya tahu saya akan hidup dengan penyesalan dan air mata setiap harinya.
Penyesalan karena tidak memberikan yang terbaik.
Penyesalan karena tidak bersikap baik.
Penyesalan karena betapa banyak salah dan sakit yang belum tertebus.
Penyesalan karena gengsi, penyesalan karena selama ini bukan seperti ini yang saya inginkan.
Penyesalan karena mimpi saya untuk meraih senyum tidak tercapai.
Penyesalan karena maaf takkan berguna lagi.
Naudzubillahi min dzalik, naudzubillahi min dzalik, naudzubillahi min dzalik
Ya Rabb, semoga Engkau berkenan untuk meluruhkan segala penghalang kerukunan dan kedamaian saya dan keluarga saya. Ya Rabb, jika Engkau menjemput orang yang kami cintai,
Semoga Engkau menjemput mereka dalam keadaan berbahagia akan adanya kami, dalam keadaan memaafkan kesalahan kami, dan dalam keadaan tidak meninggalkan suatu penyesalan apapun.
Amiin.
Lalu saya memikirkan hal lain.
Jika ditinggal/berpisah dengan someone we used to depend on, entah karena apapun itu, berpisah jarak di dunia maupun antar dunia, pasti bikin kita down. Tapi, waktu terus berlari. Hidup kita tidak menunggu. Biar kita ngga terpuruk terlalu dalam, kita ngga boleh jatuh terlalu dalam. Jangan terjun tanpa pengaman. Di punggung kita harus ada parasut. Saat kita mendarat harus ada trampolin. Dan kita harus sadar bahwa kita ngga selamanya melayang larut dengan pemandangan. Suatu saat kita akan mendarat, pemandangan itu akan jadi kenangan, dan kita selesai pada sesi itu: move on.
"Ya, semua orang memiliki masanya masing-masing. Entah saya akan meninggalkan terlebih dahulu atau ditinggal oleh mereka yang tercinta terlebih dahulu. Sadarlah saya, mau seperti apa saya hidup, siapkan dari sekarang. Mumpung masih ada mereka di sisi kita, ayo berusaha lebih keras lagi untuk memberi. Jangan ketergantungan, belajarlah mandiri. Karena tahu sendiri, menjadi beban orang lain hanya akan membuahkan penyesalan. Karena nantinya kamu tidak hanya hidup untuk diri sendiri: kamu juga harus menghidupi orang di sekitarmu." Seru saya pada diri sendiri.
yang Ditinggalkan, yang Berdiri Sendiri
Karena tak setiap kebersamaan itu abadi hingga maut menjemput. Karena tak selamanya perpisahan itu dapat dimaklumi oleh yang mengalaminya. Ada kalanya seorang wanita harus berdiri sendiri dalam menghadapi kehidupannya sendiri, dalam menghidupi dirinya dan keluarganya. Sebagai makhluk yang terbiasa dijaga oleh orangtua, yang terbiasa dilindungi oleh suami, jika tidak percaya akan dirinya sendiri bahwa ia mampu, akan sulit baginya untuk berhenti berandai-andai, sulit baginya untuk tegar berdiri.
Beliau berkata, "Wanita itu kuat. Meneladani Siti Hajar, betapa ia tegar dan ikhlas ditinggalkan begitu saja di padang pasir dengan Ismail, hanya dengan sekantung kurma dan sebotol air minum. Ikhlas meskipun saat itu mereka belum tahu hikmah yang ada di balik perintah Allah itu. Ia mampu berjuang. Berlari bolak-balik menaiki bukit Shofa Marwah sebanyak tujuh kali demi mencarikan Ismail minum, hingga akhirnya timbul air Zamzam dari kaki Ismail setelah beliau berikhtiar keras dan berdo'a."
jadi, lanjut beliau...
"Kita pun ya, pasti bisa. Kalau misalnya ada yang penempatan jauh-jauh, seperti di pulau-pulau terpencil itu ya, percayalah bahwa Allah memberi kesempatan bagi kita untuk mandiri, untuk tumbuh kuat, ngga cengeng lagi."
....
ya, saya mengerti. Namun pada kenyataannya, tentu tidak semudah teori. Tapi kita pasti kuat, karena ada Allah yang menyokong kita. Semoga Allah memperteguh kehidupan kami dan mendekatkan kami para wanita dengan-Nya saat-saat kami ditakdirkan berdiri sendiri selama waktu yang Ia tentukan. Amiin...
“… Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S. Al Baqarah 2: 216)
“… Berusahalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang beriman akan melihat usahamu …” (Q.S. At-Taubah 9:105)
0 komentar:
Posting Komentar