Tulisan ini dibuat karena terilhami salahsatu postingan teman saya, Ziyy, di blognya saat ia me-review buku Eliana karya Tere Liye. Ia bilang,
"Secara pribadi, saya suka serial anak-anak mamak. Karena dengan membaca serial tersebut, setidaknya saya bisa mendapati pengalaman menjadi anak desa (samasekali bukan anak kota seperti adanya saya). Dengan begitu, saya menghibur diri dari perasaan iri terhadap mereka yang dibesarkan oleh kebijaksanaan alam. Yang tumbuh bukan dari sintesa banyak kebudayaan. Betapa asyiknya.. :’("
Tergelitik dengan sisi yang sama, meski saya belum membaca serial anak-anak mamak sama sekali :9. Ketika melihat novel-novel inspirasional yang booming saat ini, pada umumnya ditulis oleh orang yang bertumbuh jauh dari pusat perkotaan, yang secara sadar mengalami asam dan garam perjuangannya hidup. Andrea Hirata dan Ahmad Fuadi misalnya. Kalo Tere-Liye sih bukan ya kalo ga salah, tapi beliau sukses melukiskan kehidupa di perkampungan dengan segala nilai baiknya.
Atau terlepas dari siapapun penulisnya, kisah mengenai pinggiran atau pedalaman selalu kaya akan hikmah. Yang membedakan dengan kisah lain, kisah yang berbau desa atau kampung ini selalu menghadirkan sensasi kemurnian buat saya.
Setelah membaca Dwilogi Padang Bulan dan Ranah 3 Warna (ehm, sebenarnya saya belum tamat membaca buku yang terakhir disebutkan), mereka menyiratkan satu persamaan yang menohok saya.
Anak yang lahir dan bertumbuh di kampung, lalu merantau ke kota untuk melanjutkan pendidikannya. Saat saya menemukan beberapa dari mereka, jujur saya memandang mereka sebelah mata saat membandingkan mereka dengan saingan-saingan yang berasal dari sekolah-sekolah terkenal. Namun siapa yang menyangka, ternyata yang pada awalnya dilihat sebelah mata itulah yang justru cemerlang dan berprestasi lebih. Bahkan sampai ke luar negeri. Bikin iri aja ><.
Lalu, keajaiban apa yang membuat hal itu terjadi?
Saya melihatnya di dunia nyata. Namun, saya baru tersadar saat membaca karya-karya mereka.
Semangat dan kerja keras.
Terutama, yang menohok saya, semangat dalam belajar. Semangat dalam mempelajari sesuatu.
Dalam dwilogi Padang Bulan, Enong berkata,
"Berikan aku sesuatu yang paling sulit, aku akan belajar."
Ini bukanlah perkataan orang yang memiliki otak mahajenius. Hanya seorang tokoh sederhana dengan kemampuan sederhana pula. Namun tekadnya baja dan semangatnya luar biasa.
lalu Alif mengulang-ulang mantranya berulang kali dalam Negeri 5 Menara, Man jadda wajada: Barangsiapa bersungguh-sungguh, ia akan berhasil. Bukanlah pepatah bilang, Orang yang tekun akan mengalahkan orang yang pintar?
Dalam kehidupan yang nyata sendiri, saya seringkali tertawa atau terheran-heran melihat perilaku orang-orang yang asalnya dari daerah yang asing di telinga saya. Selain mereka suka merasa takjub dengan hal yang biasa saja, mereka suka mengusahakan hal-hal yang saya, atau juga bagi sebagian orang, anggap tak perlu. Namun disanalah kuncinya.
Saat saya, atau kita, merasa tak perlu mengerjakan soal yang tidak ditugaskan oleh dosen, mereka mengerjakannya dengan penuh semangat. Saat kita merasa kesal, mengeluh bahwa hafalan kita terasa sia-sia karena tidak jadi tes atau kuis, mereka menganggap itu enteng saja dan hanya menanggapi "Oh, gitu yah?" lalu duduk kalem seakan tak terjadi apa-apa.
Seringkali saya disorientasi tujuan, begitu juga sebagian yang lain. Mengikuti pendidikan dengan orientasi nilai, bukan orientasi proses. Berleha-leha saat pelajaran lalu merodi semasa ujian, dengan usaha yang tak maksimal pula. Hafalan semalam, hilang pula dalam waktu semalam. Cepat masuk, cepat keluar. Tak ada repetisi, tak ada latihan, tak ada makna dalam prosesnya.
Namun bagi orang yang bersemangat, orang yang ingin memiliki pencapaian tahapan yang kedengarannya absurd, orang yang seringkali saya anggap khas bukan anak kota, belajar bukan mereka jadikan beban, melainkan tantangan. Mereka dapat merasakan sensasi gembira di tengah-tengah kesulitan memahami pelajaran. Bayang-bayang bahwa mereka akan bisa, sudah cukup untuk melecut semangat mereka untuk terus berusaha. Betapa berbeda dengan saya =,=
Membaca kisah Alif saat belajar menulis artikel, ia meneladani pendekar kung fu yang berkelana mendatangi guru demi guru, mempelajari satu jurus demi satu jurus. Belajar dengan mendatangi ahlinya. Saya pun teringat, bukankah pada zaman dahulu memang begitu adatnya mencari ilmu? Banyak pendahulu yang berguru pada para Imam, dari Indonesia mereka rela berkelana jauh ke Mekkah. Kalau saya? Sepanjang ingatan saya, saya belum pernah mendatangi seorang ahli secara pribadi untuk mempelajari sesuatu. Rasanya...malu. Semangat saya tak cukup besar pula untuk mengatasi rasa malu itu. Maka jadilah saya orang yang biasa dan kehidupannya gini-gini aja. zzz
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang. Begitu nasihat Imam Syafi'i yang diselipkan dalam buku Ranah 3 Warna.
Ya, semuanya berpadu harmonis dalam buku anak kampung dengan sempurna. Kunci kesuksesan: tekad dan kemauan yang besar, juga ketekunan dalam berusaha.
Hidup itu Digerakkan Oleh Greatness
5 bulan yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar