Tersebutlah kisah Ukasyah, seorang sahabat yang terkenal cepat tanggap. Dalam setiap kebaikan, ia senantiasa turut serta. Beliau merupakan salahsatu sahabat yang dimimpikan Rasulullah di antara 70.000 orang yang masuk surga, bahkan tanpa hisab. Tentulah hal tersebut bukannya tanpa sebab. Karena Ukasyah, selalu ada dalam setiap medan jihad, bahkan selalu ada di garda depan.
Karena jiwa yang merindukan surga, selalu cepat merespon kebaikan. Saat merasakan surga memanggil-manggil kita, bagaimana kita mau menunda kebaikan meski sedetik saja?
Sahabat lain yang merindukan surga, tidak lain Abu Thalhah. Siapakah Abu Thalhah? Ia adalah lelaki yang memberikan mahar yang paling mahal untuk menikah, yakni keislamannya sendiri. Berikut kisahnya
Zaid bin Sahal An-Najjary, alias Abu Thalhah tahu, perempuan bernama Rumaisha’ binti Milhan An-Najjariyah, alias Ummu Sulaim, hidup menjanda sejak suaminya meninggal. Abu Thalhah sangat gembira mengetahui Ummu Sulaim merupakan perempuan baik-baik, cerdas, dan memiliki sifat-sifat perempuan yang sempurna.
Abu Thalhah bertekad hendak melamar Ummu Sulaim segera, sebelum laki-laki lain mendahuluinya. Karena Abu Thalhah tahu, banyak laki-laki lain mendahuluinya. Karena Abu Thalhah tahu, banyak laki-laki lain yang menginginkan Ummu Sulaim menjadi istrinya. Namun begitu, Abu Thalhah percaya, tidak seorang pun laki-laki lain yang berkenan di hati Ummu Sulaim selain Abu Thalhah sendiri. Abu Thalhah laki-laki sempurna, menduduki status sosial yang tinggi, dan kaya raya. Di samping itu, dia terkenal sebagai penunggang kuda yang cekatan di kalangan Bani Najjar, dan pemanah jitu dari Yatsrib yang harus diperhitungkan.
Abu Thalhah pergi ke rumah Ummu Sulaim. Dalam perjalanan dia ingat, Ummu Sulaim pernah mendengar dakwah seorang dai yang datang dari Makkah, Mushab bin Umair. Lalu Ummu Sulaim iman dengan Muhammad dan menganut agama Islam.
Tetapi setelah berpikir demikian, dia berkata kepada dirinya, “Hal itu tidak menjadi halangan. Bukankah suaminya yang meninggal menganut agama nenek moyangnya? Bahkan suaminya itu menentang Muhammad dan dakwahnya.”
Abu Thalhah tiba di rumah Ummu Sulaim. Dia minta izin masuk, maka diizinkan oleh Ummu Sulaim. Dia minta izin masuk, maka diizinkan oleh Ummu Sulaim. Putra Ummu Sulaim, Anas, hadir dalam pertemuan mereka itu. Abu Thalhah menyampaikan maksud kedatangannya, yaitu hendak melamar Ummu Sulaim menjadi istrinya. Ternyata Ummu Sulaim menolak lamaran Abu Thalhah.
Kata Ummu Sulaim, “Sesungguhnya laki-laki seperti Anda, hai Abu Thalhah, tidak pantas saya tolak lamarannya. Tetapi aku tidak akan kawin dengan Anda, karena Anda kafir.”
Abu Thalhah mengira, Ummu Sulaim hanya sekedar mencari-cari alasan. Mungkin di hati Ummu Sulaim telah berkenan laki-laki lain yang lebih kaya dan lebih mulia daripadanya.
Kata Abu Thalhah, “Demi Allah! Apakah sesungguhnya yang menghalangi engkau untuk menerima lamaranku, hai Ummu Sulaim?”
Jawab Ummu Sulaim, “Tidak ada selain itu!”
Tanya Abu Thalhah, “Apakah yang kuning atau yang putih…? Emas atau perak?”
Ummu Sulaim balik bertanya, “Emas atau perak..?”
“Ya, emas atau perak?” jawab Abu Thalhah menegaskan.
Kata Ummu Sulaim, “Kusaksikan kepada Anda, hai Abu thalhah, kusaksikan kepada Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya jika engkau Islam, aku rela Anda menjadi suamiku tanpa emas dan perak; cukuplah Islam itu menjadi mahar bagiku.”
Mendengar ucapan Ummu Sulaim tersebut, Abu Thalhah teringat akan patung sesembahannya yang terbuat dari kayu bagus dan mahal. Patung itu khusus dibuatnya untuk pribadinya, seperti kebiasaan bangsawan kaumnya, Bani Najjar.
Sementara Abu Thalhah terbengong-bengong mengingat berhala sembahannya, Ummu Sulaim melanjutkan bicaranya.
“Tidak tahukah Anda, hai Abu Thalhah, patung yang Anda sembah itu terbuat dari kayu yang tumbuh di bumi?” Tanya Ummu Sulaim.
“Ya, betul!” jawab Abu Thalhah.
“Apakah Anda tidak malu menyembah sepotong kayu menjadi Tuhan, sementara potongannya yang lain Anda jadikan kayu api untuk memasak…? Jika Anda masuk Islam, hai Abu Thalhah, aku rela engkau menjadi suamiku. Aku tidak akan meminta mahar darimu selain itu,” kata Ummu Sulaim.
“Siapa yang harus mengislamkanku?” tanya Abu Thalhah.
“Aku bisa,” jawab Ummu Sulaim.
“Bagaimana caranya?” tanya Abu Thalhah.
“Tidak sulit. Ucapkan saja kalimat syahadat. Akui tidak ada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad Rasulullah. Sesudah itu pulang ke rumahmu, hancurkan berhala sembahanmu, lalu buang!” kata Ummu Sulaim menjelaskan.
Abu Thalhah tampak gembira. Lalu dia mengucapkan dua kalimat syahadat.
Sesudah itu Abu Thalhah nikah dengan Ummu Sulaim. Mendengar kabar Abu Thalhah kawin dengan Ummu Sulaim dengan maharnya Islam, maka kaum muslimin berkata: Belum pernah kami mendengar mahar kawin yang lebih mahal dari pada mahar Ummu Sulaim. Maharnya ialah masuk Islam.
Sejak hari itu Abu Thalhah berada di bawah naungan bendera Islam. Segala daya yang ada padanya dikorbankannya untuk berkhidmat kepada Islam. Ia tidak pernah absen sekalipun dalam medan jihad, bahkan hingga usia 60 tahun.
Di zaman khalifah Utsman bin Affan, kaum muslimin bertekad hendak berperang di lautan. Abu Thalhah bersiap-siap untuk turut dalam peperangan itu bersama-sama dengan tentara muslimin. Mengetahui hal itu, anak-anaknya berkata:
“Ayah, engkau telah berperang bersama Rasulullah SAW hingga beliau wafat. Engkaupun turut serta berjihad bersama khilafah Abu Bakar sampai beliau dipanggil Allah. Ayah, engkaupun tak pernah tertinggal dalam menegakkan kalimatullah bersama Umar bin Khattab sampai beliaupun mendahului kita menghadap Allah Rabbul Izzati. Karenanya, ayah, sekarang cukuplah kami putera-puteramu, penerusmu yang terjun ke medan bersama do’a mu”.
Namun, apa tanggapan Abu Thalhah?
Jawab Abu Thalhah, “Bukankah Allah SWT telah berfirman: “Berangkatlah kamu dalam keadaan senang dan susah, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu menyadari.” (QS. At-Taubah : 41). Firman Allah itu memerintahkan kita semuanya baik tua maupun muda. Allah tidak membatasi usia kita untuk berperang.”
"Ini adalah urusan surga dan aku tidak ingin mewakilkannya kepada kalian. Sekiranya ini urusan lain. niscaya aku akan mewakilkannya kepada kalian."
Karena jiwa yang merindukan surga, selalu cepat merespon kebaikan. Saat merasakan surga memanggil-manggil kita, bagaimana kita mau menunda kebaikan meski sedetik saja?
Lalu ingatkah saudaraku, akan sahabat Hanzalah? Begitu rindu jiwanya akan surga, saat ada panggilan perang Badr, ia langsung menyambar bajunya dan pergi bergegas tanpa sempat mandi janabat. Lalu syahidlah ia dalam perang tersebut.
Usai perang Badr, Nabi Muhammad, melihat ke langit, dan berkata kepada para sahabat, “Aku melihat, malaikat-malaikat sedang memandikan Hanzhalah bin Abu Amir di antara langit dan bumi dengan menggunakan air Muzn (mendung) yang diambil dari bejana perak.”
Kemudian beliau mengutus salah seorang sahabat untuk mengabarkan hal itu kepada istri Hanzhalah dan menanyakan apa yang dikerjakan suaminya sebelum pergi ke medan perang.
“Ketika mendengar panggilan perang, Hanzhalah dalam keadaan junub dan belum sempat mandi…,” katanya.
Beruntunglah Hanzhalah, syuhada yang telah dimandikan oleh para malaikat. Dia memperoleh kedudukan yang tinggi di haribaan Allah SWT. Itulah sebaik-baik tempat yang tidak semua orang mampu meraihnya.
Nabi Bersabda, “Allah SWT berfirman: Tiada balasan bagi hamba-Ku yang berserah diri saat Aku mengambil sesuatu yang dikasihinya di dunia, melainkan surga.” (HR Bukhari)
Karena jiwa yang merindukan surga, selalu cepat merespon kebaikan. Saat merasakan surga memanggil-manggil kita, bagaimana kita mau menunda kebaikan meski sedetik saja?
Lalu bagaimana dengan kita? Apa yang dapat kita perbuat?
Tak perlulah terpaku dengan medan jihad qital, di sekeliling kitapun ada begitu banyak amalan kebaikan yang menunggu untuk direspon: kecintaan terhadap Al Qur'an, bermunajat kepada Allah dengan khusyu', Qiyamu lail, dan jihad fii sabilillah, bagaimanapun cara syar'i yang ditempuh.
*oleh Ustadz H. Fadlyl Usman Baharun dalam Mabit Rindu Surga
demikian sedikit catatan yang dapat saya bagikan, semoga bermanfaat :)
0 komentar:
Posting Komentar